Pondok Pesantren Assalam Sukabumi
KH. Abdurrahman, seorang tokoh penting dalam pendirian Pondok Modern Assalam di Sukabumi, lahir pada tahun 1904 di Desa Kalapa Carang, Bojonggenteng, Sukabumi. Beliau adalah putra dari pasangan Bapak Suhli dan Ibu Sutijah. Meskipun berasal dari keluarga petani yang kaya raya, KH. Abdurrahman menjalani hidup dengan kesederhanaan yang mendalam. Kesederhanaan ini tercermin dalam kehidupan sehari-harinya. Walaupun beliau adalah seorang kiai dan pendiri pondok modern yang berpengaruh, penampilannya tidak mencerminkan status tersebut. Integritasnya tampak jelas dalam keseharian; apa yang diucapkannya senantiasa selaras dengan tindakannya.
KH. Abdurrahman menempuh jenjang pendidikan awalnya di Sekolah Rakyat (SR) pada usia delapan tahun selama tiga tahun. Setelah itu, beliau melanjutkan pendidikan di sebuah pondok pesantren dengan sistem yang unik, yaitu satu bulan tinggal di pondok dan satu bulan bekerja sebagai kuli untuk mencari bekal selama tinggal di pondok. Sistem ini menjadi tantangan tersendiri dalam menuntut ilmu di pesantren.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Sekolah Rakyat, KH. Abdurrahman bekerja di sebuah perkebunan yang pada masa itu dikenal sebagai PPN (sekarang PTP) di daerah Pakuwon. Pekerjaannya adalah memotong rumput (nyambit rumput), dengan upah harian sebesar 3 bengol atau 7 sen. Meskipun upahnya kecil, beliau tetap menjalani pekerjaan ini dengan tekun dan penuh kesederhanaan.
Pada usia 16 hingga 17 tahun, KH. Abdurrahman bekerja sebagai kuli menjemur teh. Ia bekerja pada siang hari dari pukul 16:00 hingga 17:00 dengan upah 25 sen, dan pada malam hari ia memperoleh 3 bengol. Menjelang usia 18 tahun, beliau berhasil menyimpan uang sebesar 7 rupiah. Uang tersebut kemudian digunakan untuk membeli alat cukur, dengan tujuan mendapatkan penghasilan tambahan sebagai pemangkas rambut keliling. Beliau berpindah dari satu kampung ke kampung lain, tidak hanya menawarkan jasa pangkas rambut tetapi juga menjual tembakau, aren, dan gambir. Keuletannya dalam bekerja mencerminkan tekad kuat untuk memperbaiki kondisi hidupnya dan terus mendalami ilmu.
Pada tahun 1934, KH. Abdurrahman meminang Hjh. Situ Mubarokah sebagai pendamping hidupnya. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai seorang putra bernama Lukman Herawan, yang kemudian hari menjadi pelopor dan perintis Pondok Modern Assalam bersama ayahnya. Pada tahun 1945, KH. Abdurrahman menikah untuk kedua kalinya dengan Hjh. Siti Aminah, namun pernikahan ini tidak dikaruniai keturunan. Empat tahun kemudian, pada tahun 1949, beliau menikah kembali untuk ketiga kalinya dengan Hjh. Aisyah. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai enam orang anak, namun hanya empat yang hidup, yaitu Ian Hadiana, Cucup Hadiana, H. Muslim (alm.) yang wafat pada tahun 2002, dan Elin. Hingga saat ini, tiga anak yang masih hidup adalah Ian Hadiana, Cucup Setia Budi, dan Elin.
KH. Abdurrahman menghidupi keluarganya dari penghasilan sebagai tukang cukur keliling serta sebagai penjahit, dengan mengandalkan mesin jahit hasil kredit dari Pak Hasan. Sisa dari penghasilan tersebut beliau tabungkan. Pada tahun 1963, hasil ketekunannya dalam bekerja dan menabung, beliau berhasil memiliki 8 hektar sawah dan 3 hektar kebun.
Dengan kekayaan tersebut, KH. Abdurrahman sempat merasa bingung tentang bagaimana memanfaatkannya. Dari perenungan ini, muncul ide untuk mendirikan sebuah pondok pesantren. Akhirnya, beliau memutuskan untuk mendirikan Pondok Modern Assalam di atas tanah miliknya, yang kemudian diwakafkan untuk kepentingan umat Islam. Keputusan ini mencerminkan tekad dan visi beliau untuk memberikan kontribusi yang berarti bagi pendidikan dan perkembangan umat Islam.
Pada tahun 1965, KH. Abdurrahman memulai pembangunan sebuah gedung berukuran 36 meter panjang dan 7 meter lebar, dengan enam lokal. Pembangunan Pondok Modern Assalam ini dilakukan dengan jerih payahnya sendiri tanpa meminta bantuan dari siapapun. Gedung tersebut kemudian diberi nama Darul Luqman, sebagai penghormatan kepada Ir. Lukman Herawan, putra beliau dan pendiri pondok.
Menurut cerita, bangunan ini menjadi saksi bisu peristiwa tragis ketika Ir. Lukman Herawan ditembak oleh perampok pada malam hari, setelah merencanakan latihan kepramukaan yang akan diadakan keesokan harinya. Ir. Lukman meninggal dunia di tempat tersebut akibat tembakan sang perampok. Oleh karena itu, nama Darul Luqman dinisbatkan untuk mengenang pendirinya yang gugur.
Pada awalnya, gedung Darul Luqman digunakan oleh santri putra. Namun, seiring waktu dan perkembangan pondok, gedung ini kemudian ditempati oleh santri putri. Hingga saat ini, gedung Darul Luqman masih menjadi tempat tinggal bagi para santri putri, melanjutkan warisan dan visi pendidikan yang telah dirintis oleh KH. Abdurrahman dan Ir. Lukman Herawan.
Pada tahun 1965, KH. Abdurrahman resmi membuka Pondok Modern Assalam setelah kepulangan putra sulungnya, Ir. Lukman Herawan. Ir. Lukman Herawan baru saja menyelesaikan studinya di Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, dan melanjutkan pendidikannya di Pondok Modern Darussalam Gontor. Setelah menyelesaikan studinya di Gontor pada tahun 1965, ia mengabdikan diri di sana selama dua tahun. Selama masa pengabdiannya, Ir. Lukman Herawan menikah dengan Uwan Suwansah dari Cigombong, Bogor.
Setelah dua tahun mengabdi di Gontor, Ir. Lukman Herawan kembali ke kampung halamannya di Cipanengah bersama istrinya. Di sana, ia mulai membina adik-adiknya serta masyarakat setempat, baik pemuda maupun pemudi. Namun, takdir berkata lain. Setelah 15 hari peresmian Pondok Assalam Sukabumi pada tanggal 9 Januari 1968, bertepatan dengan 8 Syawal 1387 H, Ir. Lukman Herawan wafat.
Pada tanggal 24 Januari 1968, Ir. Lukman Herawan, yang saat itu menjabat sebagai pimpinan Pondok Modern Assalam, tewas ditembak perampok saat perampokan di rumahnya yang terletak di dalam kompleks pesantren. Peristiwa tragis ini mengakhiri perjuangan dan dedikasi beliau, namun warisan dan visinya tetap hidup di Pondok Modern Assalam yang beliau rintis bersama ayahnya.